Sejarah Bolaang Mongondow tidak pernah dapat dibaca secara utuh karena hanya merupakan fragmentasi fragmentasi lepas bagai puzzle yang masih berserakan dan belum semuanya bisa dirangkai karena banyak bagian-bagian yang belum ditemukan fakta sejarahnya..... sedang yang adapun masih patut dipertanyakan otentisitasnya terutama bagian-bagian yang berbaur antara cerita, asumsi, interpretasi dan mitos-mitos irrasional.
Mengikuti fragmentasi sejarah sejak " singog in lipu' molantud " sampai saat ini, entah sudah berapa kali terjadi akulturasi budaya pada masyarakat Bolaang Mongondow......apakah itu akibat pengaruh budaya lain atau pengaruh perubahan yang terjadi dalam bidang politik, sosial, ekonomi, agama..... yang semua itu kemudian perlahan tapi pasti menggerus eksistensi budaya mongondow itu sendiri dari masa ke masa.
Kompleksitas kehidupan masa kini yang membuat ongkos sosial, pendidikan, kesehatan, hukum, politik dan birokrasi semakin tinggi.... merupakan rangkaian akibat dari pola hidup konsumtif, suka pamer, jaim, life style, gila hormat, serakah, birokrasi bertele-tele, pemimpin yang tak kompeten, penegakan hukum yang lemah, politik uang........yang bermuara dalam membentuk perilaku koruptif pada sebagian aparat dan masyarakat, dan imbasnya membentuk perilaku pragmatis dengan kecenderungan apatis pada sebagian masyarakat lainnya.
Jika perilaku yang pertama mengakibatkan degradasi nilai-nilai budaya, sedang perilaku lainnya mempunyai kecenderungan melakukan pembiaran atas nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat.
Tidak heran jika kemudian ada yang mempertanyakan kemana adat istiadat maupun tradisi yang dulu merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Bolaang Mongondow, utamanya 2 bulan terakhir ini............. oleh perempuan -perempuan cerdas yang punya kepedulian seperti Resensator Rahmi Hattani dan Penulis masalah sosial Rukmina Gonibala Manoppo.
Pertanyaan yang lebih spesifik pernah saya ajukan pada almarhum Bpk Ismail Tolat tahun 1976 di Jakarta
- Ama' aka adat diadon pakeon, yo ukaton koonda ?
+Kong gina, pais aka moondoq koliongan sedang bahasa (mongondow) musti bi' ko dia dia.... ba
kotaawan intau ibanya.......iko intaw bi' mongondow, yo pakean na' sunting, pomama'an, kabela,
daing, lambung bo ibanya mako.....bakut takin pusi' mobudo'.....ukat bo tagu' kon baloi molantud
ba' koontongan adi' bo ompu .....sin tua barang mopia....pinake guehanga kolabung mako.
demikian jawaban beliau saat itu.
Di tahun 1975 almarhum Bpk. A Y Mokoginta menyatakan keprihatinannya bahwa orang mongondow (dewasa dan anak-anak) sekarang lebih banyak menggunakan bahasa melayu manado ketimbang bahasa mongondow.
Keprihatinan ini kemudian melahirkan salah satu keputusan Mubes II KPMIBM di Kotamobagu Th,1975 berupa desakan kepada Pemda Tk II Bolmong qq Kakandep Dikbud untuk menjadikan bahasa mongondow sebagai mata pelajaran disekolah-sekolah.
Dari pertanyaan dan keprihatinan diatas ada kekhawatiran bahwa selain adat istiadat, tradisi, ternyata ada potensi ancaman kehilangan yang lebih besar yaitu (Bahasa Mongondow) jati diri orang mongondow yang jika ini lenyap maka lenyap juga apa yang dikenal sebagai suku bangsa mongondow selama ini.
Kekhawatiran lain yang timbul dari kompleksitasnya kehidupan saat ini adalah potensi lahirnya budaya kekerasan..... sebut saja salah satunya adalah proses politik dalam pemilu maupun pilkada dimana filosofis masyarakat mongondow yang terkristal dalam semboyan "mototabian, mototanoban, mototompiaan" menjadi terabaikan, terlupakan, bahkan berubah menjadi "mobobayowan, mososiba'an, mososibatan" ketika akar rumput para pendukung calon atau partai saling berhadap-hadapan di panggung-panggung kampanye.
Provinsi Bolaang Mongondow Raya adalah suatu keniscayaan, karena disana digantungkan banyak harapan atas masa depan daerah dan kehidupan yang lebih baik......tapi tidak diatas reruntuhan budayanya.....sulit membayangkan jika peresmiannya nanti dibacakan salamat memakai bahasa melayu manado, dan para tamu disambut oleh goyang dang dut dengan iringan organ tunggal dan akhir acara ditutup dengan tawuran antara pendukung para bakal calon gubernur.
Ironis memang jika itu yang terjadi walau tentu tidak kita harapkan, perlu keteladanan dari para pemimpin formal maupun informal disegala lapisan masyarakat agar memberikan contoh bagaimana berdemokrasi yang sehat, bagaimana mengimplementasikan bahasa dan semboyan dalam kehidupan sehari-hari, menjaga dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam melestarikan budaya yang ada.......dan jika ini dapat diwujudkan maka bolehlah kita menafikan kekhawatiran tersebut diatas dan tersenyum membayangkan cerahnya masa depan generasi yang akan datang.....berbekal pendidikan dan ilmu pengetahuan mereka mempunyai kesempatan menduduki puncak-puncak karir di pemerintahan atau lembaga......baik ditingkat kabupaten/kota, provinsi maupun nasional bersaing dengan suku bangsa lainnya sebagai bagian dari bangsa Indonesia dengan menyandang jati diri sebagai putera dan puteri Bolaang Mongondow menggantikan jejak leluhurnya...para Bogani yang dulu berkuasa dari atas puncak-puncak bukit seperti.....tudu in bumbungon, tudu in sia', tudu in passi, tudu in lombagin dll.
Ujung Aspal 280612
Sumber :
http://www.anakpesisir.com/2012/06/propinsi-bolaang-mongondow-raya-suatu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar