Senin, 20 Agustus 2012

Provinsi Bolaang Mongondow, Sebuah Solusi

“Solusilah yang kita butuhkan saat ini ditengah keadaan tidak lagi bersahabat”

Sampai sejauh ini penulis memandang belum dapat dipastikan dengan cara dan berpijak pada apa agar nanti terwujudnya Provinsi Bolaang Mongondow (Bolmong). Umumnya yang diketahui itu seputar pada perbaikan administrasi, kondisi wilayah, bahkan infrastruktur dan suprastrukturnya. Dalam tulisan kali ini penulis tidak lebih merumitkan hal tersebut karena al ini sudah pernah bahkan sering dibahasakan oleh ahlinya sampai yang sok ahli. sehingga tulisan ini lebih memfokuskan pada realitas masyarakat Bolmong pasca pemekaran. Terlepas dari pembaca mendukung atau tidaknya terhadap wacana tersebut.


Jika memakai pendekatan historis dalam menganalisis kondisi kekinian Bolaang Mongondow, dapat kita lihat bahwa ada rentetan sejarah yang masih buram bahkan mengalami pergeseran terutama untuk budaya dan kebudayaannya, yang kemudian ini digantikan dengan budaya baru yang justru menghilangkan identitas Bolmong itu sendiri. Bisa dikatakan saat ini justru kita kehilangan identitas dan jatih diri, sehingga itulah hemat penulis yang menjadikan masyarakat Bolaang Mongondow kehilangan batu pijakan dalam melangkah kemasa depan dan kehilangan cahaya dalam mengarungi lorong gelap peradaban. Itu pula yang menutup pandangan dari sebagian besar kita (rakyat maupun pemerintah) tahu akan pentingnya sebuah persatuan (motobatu) diantara kita. Lebih jauh lagi jika dibiarkan ini bisa berdampak kedepan nanti kita akan berhadapan dengan sebuah kenyataan termarjinalisasinya (terpinggirkannya) orang Bolmong ditanah sendiri.

Membicarakan masalah berdirinya daerah otonom di bolmong dalam bentuk Provinsi, sebagai bentuk jawaban atas amanat undang-undang tentang otonomi daerah, bukanlah sebuah hal mudah (kalau tidak dikatakan sulit), sebab yang namanya pembentukan Provinsi sama saja dengan membicarakan kemerdekaan dan kebebasan bolmong itu sendiri. Bolmong dalam hal ini, mengapa saya melihat ini sebagai usaha perjuangan memperoleh kemerdekaan, sebab sampai saat ini secara sadar maupun tidak penduduk yang mendiami buta’ (tanah) bolmong, sampai saat ini masih tertidur dan dinina bobokan oleh pemerintah Provinsi, bahkan kita melihat dari sector perekonomian kitapun dimanfaatkan secara maksimal, disamping itu juga perwakilan masyarakatpun yang berkipra di Provinsi maupun pusat masih kurang bahkan sengaja dikurangkan dan dihilangkan, itu semakin menegaskan bahwa kita lemah (lebih tepatnya dilemahkan) dalam sector perekonomian dan politik dan masih banyak hal lainnya.

Disamping itu Bolaang Mongondow menuju Provinsi, dimana wacana ini sebagai sebuah jawaban dari adanya undang-undang mengenai otonomi daerah, dimana daerah-daerah, dalam hal ini Provinsi dan terutama kabupaten kota, diberi kebebasan oleh pemerintah pusat untuk mengola segala potensi (kemampuan daerah) untuk membangun daerahnya masing-masing seluas-luasnya. Kendati demikian pemerintah pusat masih memberi catatan tambahan, bahwa konteks otonomi daerah itu tidak mencakup hankam, peradilan, fiscal dan moneter, dan kebijakan luar negeri. Dampak dari adanya otonomi daerah ini dapat kita saksikan, dimana Bolaang Mongondow yang dulunya daerah tingkat II yang secara administrative termasuk salah satu kabupaten daerah tingkat Sulawesi utara, kini sudah mekar menjadi 5 kabupaten dan kota, yakni Bolmong Induk, Bolmong Utara, Bolmong Selatan, Bolmong Timur dan Kota Kotamobagu.

Dengan adanya pemekaran ini, tentunya berdampak positif, selain karna adanya pengaturan daerah secara mandiri oleh pemerintah daerah, ini juga dapat dikatakan sebagai sebuah prestasi besar dari pemerintah. misalnya jika ditinjau dari dimensi sosial, politik dan kultural, bisa dikatakan bahwa pemekaran daerah mempunyai beberapa implikasi positif, seperti pengakuan sosial, politik dan kultural terhadap masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran, sebuah entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran yang panjang, kemudian memperoleh pengakuan setelah dimekarkan sebagai daerah otonom baru. Pengakuan ini memberikan kontribusi positif terhadap kepuasan masyarakat, dukungan daerah terhadap pemerintah nasional, serta manajemen konflik antar kelompok atau golongan dalam masyarakat.

Namun demikian, pemekaran ini juga bisa berdampak negatif, sebab kebijakan pemekaran juga bisa memicu konflik antar masyarakat, antar pemerintah daerah yang pada gilirannya juga menimbulkan masalah konflik horisontal dalam masyarakat. Sengketa antara pemerintah daerah induk dengan pemerintah daerah pemekaran dalam hal pengalihan aset dan batas wilayah, juga sering berimplikasi pada ketegangan antar masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah daerah. Bahkan dalam masyarakat itu sendiri dengan adanya pemekaran dapat memunculkan kembali sikap yang tidak lagi menunjukkan bentuk persatuan, ini justru membuat falsafah luhur Bolmong, motto Totabian, motto Totanoban, bo motto Totompiaan, ditambah Motobatu Molintak kon Totabuan kian memudar.

Hal ini, mulai menampakkan dan menegaskan wajahnya dalam bentuk egosentrisme kedaerahan, seperti adanya ungkapan yang saat ini sering penulis dengar “akuoi intau bi’ kabupaten A deman intau kabupaten B” (saya orang A bukannya orang kabupaten B) dan lain sebagainya. Padahal awalnya adalah motobatu (satu), karena berasal dari kabupaten yang sama, lebih jauh lagi kita kita sama dalam rasa dan suku bangsa. Ini kembali diperparah karena saat ini egosentris tersebut dibalut dengan kebanggaan berlebihan terhadap daerah sendiri, dan tidak memandang lagi Bolaang Mongondow sebagai sebuah simbol persatuan.

Adanya keresahan penulis akan hal yang yang di torehkan diatas, itu tidak tampak saat Bolaang Mongondow masih dalam bentuk satu padu dalam kabupaten. Nanti saat ini setelah adanya pemekaran nampaklah hal tersebut. Ditambah lagi saat ini semakin membudayanya sikap egosentris kedaerahan, akan memudarkan semangat persaudaraan jika Pemerintah dan Masyarakat tidak menyadari secara dini, serta tidak adanya solusi yang menyatuhkan dalam sebuah bingkai kebersamaan. Pertanyaannya kemudian haruskah kita kembali lagi satu dalam bentuk kabupaten seperti dahulu lagi agar tidak terjadi hal demikian?. ataukah ada alternatif lain dalam meminimalisir bahkan menghilangkan hal tersebut sehingga kita kembali lagi dalam sebuah kesatuan yang kuat.

Hemat penulis jika kita kembali satu namun dalam bentuk kabupaten seperti dahulu, bisa saja namun sangat disayangkan karena itu sebuah langkah mundur, dan itu bisa menjadi tamparan keras untuk kita semua. Seakan-akan Pemerintah dan Masyarakat Bolaang Mongodow tidak becus bahkan tidak mampu untuk mandiri dan berdikari. Padahal sebenarnya Bolaang Mongodow mempunyai potensi yang besar serta siap untuk dimaksimalkan dalam memajukan daerah.Jika tidak kabupaten lagi lalu apa solusinya?. karena saat ini memang justru keadaan yang menuntut serta dibutuhkanlah sebuah solusi yang benar-benar dapat membingkai kembali semangat persatuan antara masyarakatnya, dan seharusnya yang paling utama Persatuan yang dimulai juga dari Pemerintahnya. Oleh karenanya pandangan penulis dan juga penulis rasa keinginan bersama adalah menjadikan Bolaang Mongondow sebagai sebuah Provinsi adalah sebuah solusi yang benar-benar solusi yang juga final solution.

*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika di Universitas Negeri Gorontalo, yang resah atas kondisi Bolaang Mongondow saat ini.
Gorontalo, April 2011

Sumber :
http://qomaidiansyah.wordpress.com/2011/06/11/provinsi-bolaang-mongondow-sebuah-solusi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar